Kamis, 28 Agustus 2025

QRIS, E-Wallet, hingga PayLater: Masa Depan Pembayaran Digital RI

Senin, 25 Agustus 2025 17:05
Ilustrasi Paylater.
Ilustrasi Paylater.

Suara Pembaca, Jakarta - Kita sedang hidup di zaman di mana berbelanja tidak lagi membutuhkan dompet tebal, uang tunai, atau bahkan rasa perhitungan. Dengan satu sentuhan layar ponsel, semua bisa terbayar.

QRIS membuat transaksi jadi instan, dompet digital membuat uang terasa tak terbatas, dan PayLater Indonesia membuka peluang konsumsi bahkan ketika saldo kita kosong. Tapi mari kita jujur: apakah semua kemudahan ini benar-benar membawa kebaikan, atau justru sedang mendorong kita ke jurang gaya hidup boros yang semakin sulit dikendalikan?

Fenomena pembayaran digital memang memberi kita kenyamanan luar biasa. Kita tidak perlu lagi repot mencari uang receh di kasir, tidak takut salah hitung, dan tidak perlu bawa banyak kartu. Semuanya terintegrasi dalam satu aplikasi. Namun, kenyamanan ini ternyata datang dengan harga yang mahal.

E-wallet, misalnya, menciptakan ilusi bahwa uang kita masih banyak. Top-up sekali, lalu transaksi berjalan begitu cepat, hingga kita baru sadar saldo habis saat notifikasi “saldo tidak cukup” muncul. Rasa kehilangan uang jadi samar karena kita tidak lagi memegang fisiknya.

Lebih parah lagi dengan PayLater. Fitur ini awalnya digadang-gadang sebagai solusi inklusi finansial, membuka akses kredit bagi mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Tapi kenyataannya, PayLater mengubah pola konsumsi menjadi semakin impulsif. Kita didorong untuk membeli barang sekarang, membayar nanti, dan sering kali lupa menghitung kemampuan membayar cicilan.

Apalagi bunga dan biaya tersembunyi yang tidak sedikit, membuat kita seperti masuk dalam jebakan konsumsi berulang. Hari ini bayar setengah, besok tambah belanja lagi, dan begitu terus sampai kita terjerat utang digital.

Dalam jangka panjang, tren ini bisa berbahaya bagi masyarakat, terutama generasi muda. Mereka yang baru masuk dunia kerja, dengan gaji pas-pasan, sudah terbiasa hidup dengan PayLater. Kebutuhan primer dan gaya hidup bercampur tanpa batas, karena semua terlihat mudah diakses. Mau liburan? Cicil. Mau gadget baru? Cicil. Mau makan enak tiap hari? Cicil. Padahal, pola ini bisa merusak kedisiplinan finansial dan menciptakan generasi yang rentan terhadap krisis utang pribadi.

Kita juga harus kritis melihat bagaimana perusahaan fintech mendorong budaya konsumtif ini. Promosi cashback, diskon eksklusif, dan limit PayLater yang terus ditingkatkan bukanlah hadiah, tapi strategi. Mereka tahu betul, semakin sering kita bertransaksi lewat dompet digital dan PayLater, semakin besar keuntungan yang mereka raup.

Pertanyaannya, apakah regulator cukup tegas mengawasi praktik ini? Atau kita dibiarkan terhanyut dengan narasi manis “ekonomi digital inklusif” yang sebenarnya menyembunyikan jebakan utang?

Tentu kita tidak bisa menafikan manfaat besar dari QRIS, e-wallet, dan PayLater. Sistem ini membuat ekonomi lebih inklusif, mempercepat transaksi, dan memberi peluang bagi UMKM untuk naik kelas. Tetapi manfaat tersebut harus dilihat dengan kacamata kritis.

Kita butuh literasi keuangan yang lebih kuat, edukasi publik tentang risiko PayLater, serta regulasi yang membatasi praktik predatoris dari penyedia layanan digital. Jika tidak, masa depan pembayaran digital di Indonesia justru akan menciptakan masalah sosial baru: generasi konsumtif yang hidup dalam utang digital permanen.

Masa depan memang digital, tetapi masa depan itu juga harus berkelanjutan dan sehat. Jika tidak, semua kemudahan yang kita nikmati hari ini akan berubah menjadi beban yang harus kita bayar mahal di masa depan.

Pertanyaannya sederhana: apakah kita mau menjadi tuan atas teknologi, atau justru menjadi budak dari ilusi praktis yang ditawarkan oleh QRIS, dompet digital, e-wallet, dan PayLater Indonesia?

LOGIN

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

DAFTAR

Sudah Memiliki Akun Login di Sini

RESET PASSWORD

Masukan alamat email yang terdaftar untuk mereset password