Kontroversi UMKM Banjarbaru yang Dijerat UU Perlindungan Konsumen
Senin, 19 Mei 2025 16:30

Suara Pembaca, Jakarta - Sebuah toko oleh-oleh khas Banjar di Kalimantan Selatan, “Mama Khas Banjar”, kini tengah menjadi sorotan setelah sang pemilik, Firly Nurachim, dijerat pasal pidana oleh aparat penegak hukum. Ia didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lantaran produk jualannya tidak mencantumkan masa kedaluwarsa.
Kepolisian bersama Kejaksaan Negeri Banjarbaru mengajukan dua dakwaan kepada Firly, yang menjalankan usaha kecil menjual makanan beku dan makanan kemasan. Dakwaan pertama menyangkut Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf g, sementara dakwaan kedua berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen.
Pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur larangan peredaran barang tanpa informasi penting, termasuk tanggal kedaluwarsa dan penjelasan yang benar mengenai produk. Jika terbukti bersalah, ancaman hukuman maksimalnya mencapai lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.
Dukungan dan Kritik Mengalir
Kasus ini memantik reaksi publik, terutama dari kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Banyak yang menilai bahwa penggunaan UU Perlindungan Konsumen terhadap usaha skala kecil seperti milik Firly tergolong berlebihan.
Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, angkat bicara. Menurutnya, penerapan undang-undang tersebut terhadap UMKM tidak sesuai konteks. “Undang-undang itu dibuat untuk mengatur aktivitas bisnis yang berskala besar dengan risiko tinggi. UMKM, apalagi di sektor makanan ringan seperti ini, seharusnya tidak dikenakan sanksi seberat itu,” ujar Maman dalam kunjungannya ke Banjarbaru.
Ia menambahkan, sanksi administratif sebagaimana diatur dalam UU Pangan lebih layak diterapkan dalam kasus seperti ini. “Teguran, pembinaan, atau pencabutan izin usaha merupakan langkah yang lebih tepat daripada langsung membawa pelaku UMKM ke ranah pidana,” katanya.
Perjalanan Hukum Berlanjut
Sementara itu, sidang perkara ini tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Banjarbaru. Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa meskipun berskala kecil, toko milik Firly tetap berkewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap kepada konsumen.
Firly sendiri mengaku tak menyangka usaha rumahan yang dirintisnya bisa menyeretnya ke meja hijau. Dukungan terhadapnya bermunculan, baik dari sesama pelaku UMKM maupun dari masyarakat luas yang menilai proses hukum ini terlalu keras untuk konteks usaha kecil.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi penataan regulasi usaha mikro dan kecil di Indonesia. Di satu sisi, perlindungan konsumen tetap menjadi hal utama, namun di sisi lain, pendekatan hukum terhadap UMKM perlu mempertimbangkan skala dan kapasitas usaha agar tidak mematikan potensi ekonomi rakyat kecil.